Selasa, 12 November 2013

Resume Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Sumatra



RESUME
Ditunjukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Sumatra
Sejarah Peradaban Islam

Oleh:
Alham Irpani                     NIM.  13510003

Dosen Pengampu :
Dewi Permata Sari M.Hum

Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
IAIN RADEN FATAH PALEMBANG
2013


Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Sumatra
Islam tersebar di Indonesia melalui pedagang yang berdagang ke Indonesia, di mana masyarakat Indonesia sebelum Islam mayoritas memeluk agama Hindu dan Budha.  Pada abad ke-12, sebagian besar pedagang orang Islam dari India tiba di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Kerajaan Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana banyak pengikutnya berpindah agama ke Islam., dan dalam jumlah yang lebih kecil, banyak penganut agama Hindu yang berpindah ke Bali.
pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan “kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin”

 Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, social dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya yaiut banyaknya nama-nama islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai keIslaman.


A.   Kerajaan Kerajaan Islam di Sumatra
1.      Samudera Pasai
Pada pertengahan abad ke-13, di Sumatera telah berdiri kerajaan Islam Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia, Samudera Pasai juga dikenal dengan  Kesultanan Pasai atau Samudera Darussalam. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut aceh yang sekarang merupakan wilayah Kabupaten Lhouksumawe.
Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan maritim, kerajaan ini didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja pertama pada abad ke-13, samudera pasai telah mengadakan hubungan dengan Sultan Delhi di India pada pelayaran kerajaan Samudra Pasai merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpulnya para ulama dari berbagai negara Islam.
Raja-raja yang pernah memerintah Samudra Pasai adalah seperti berikut:
1. Sultan Malik Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar kekuasaan Islam dan berusaha mengembangkan kerajaannya antara lain melalui perdagangan dan memperkuat angkatan perang. Samudra Pasai berkembang menjadi negara maritim yang kuat di Selat Malaka.
2.  Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah sejak 1297-1326. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai.
3.  Sultan Malik al Tahir II (1326 – 1348 M). Raja yang bernama asli Ahmad ini sangat teguh memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan Islam ke negeri-negeri sekitarnya. Akibatnya, Samudra Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran Islam. Pada masa pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki armada laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman singgah dan berdagang di sekitar Samudra Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai kerajaan maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian
Samudera Pasai merupakan kerajaan dagang yang makmur. Banyak pedagang dari Jawa, Cina, dan India yang datang ke sana. Hal ini mengingat letak Samudera Pasai yang strategis di Selat Malaka. Mata uangnya uang emas yang disebur deureuham (dirham). Di bidang agama, Samudera Pasai menjadi pusat studi Islam. Kerajaan ini menyiarkan Islam sampai ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, bahkan ke Thailand. Dari Kerajaan Samudra Pasai inilah kader-kader Islam dipersiapkan untuk mengembangkan Islam ke berbagai daerah. Salah satunya ialah Fatahillah.


2.      Kerajaan Malaka
Sesungguhnya, Kerajaan Malaka ini tidak termasuk wilayah Indonesia, melainkan Malaysia. Namun, karena kerajaaan ini memegang peranan penting dalam kehidupan politik dan kebudayaan Islam di sekitar perairan Nusantara, maka Kerajaan Malaka ini perlu dibahas.
Kerajaan Malaka (orang Malaysia menyebutnya Melaka). Didirikan oleh Pangeran Parameswara, berasal dari Sriwijaya (Palembang). Kerajaan ini terletak di jalur pelayaran dan perdagangan antara Asia Barat dengan Asia Timur. Sebelum menjadi kerajaan yang merdeka, Malaka termasuk wilayah Majapahit. Pendiri Malaka adalah
Ketika di Sriwijaya terjadi perebutan kekuasaan pada abad ke-14 M, Parameswara melarikan diri ke Pulau Singapura. Dari Singapura, ia menyingkir lagi ke Malaka karena mendapat serangan dari Majapahit. Di Malaka ia membangun pemukiman baru yang dibantu oleh orang-orang Palembang. Bahkan Parameswara bekerja sama dengan kaum bajak laut (perompak). Ia memaksa kapal-kapal dagang yang melewati Selat Malaka untuk singgah di pelabuhan Malaka guna mendapatkan surat jalan.
Untuk melindungi kekuasaannya dari raja-raja Siam di Thailand dan Majapahit dari Jawa, ia menjalin hubungan dengan Kaisar Ming dari Cina. Kaisar Ming inilah yang mengirimkan balatentara di bawah pimpinan Laksamana Cheng-Ho pada tahun 1409 dan 1414. Dengan demikian, Parameswara berhasil mengembangkan Malaka dengan cepat. Kemudian, Malaka pun mengambil alih peranan Sriwijaya dalam hal perdagangan di sekitar Selat Malaka. Selat Malaka pada waktu itu merupakan Jalur Sutera (Silk Road) perdagangan yang dilalui oleh para pedagang dari Arab, Persia, India, Cina, Filipina, dan Indonesia.
Parameswara mulai resmi memerintah Malaka pada tahun 1400. Menurut catatan Tome Pires, Parameswara memeluk Islam setelah menikah denan puteri raja Samudera Pasai pada usia 72 tahun. Setelah itu, Parameswara bergelar Muhammad Iskandar Syah. Sebagian sejarawan bahkan beranggapan bahwa ia merupakan raja Malaka yang pertama muslim.
Parameswara Dewa Syah hanya memerintah satu tahun, hingga 1445. Yang kemudian menjadi raja adalah Sultan Muzaffar Syah atau Kasim. Pada masanya Malaka mencapai masa keemasannya. Sultan ini memerintah hingga tahun 1459. Ia digantikan oleh Sultan Mansur Syah, dikenal juga sebagai Abdullah. Mansur Syah memerintah Malaka sampai tahun 1477. Jabatan sultan diserahkan kepada Sultan Alauddin Riayat Syah yang memerintah hingga 1488.
Masa kejayaan Malaka langsung sirna sejak pasukan Portugis menyerang Malaka pada tahun 1511. Portugis yang dipimpin langsung oleh Alfonso de Albuquerque, dengan mudah mengalahkan pertahanan Malaka. Portugis segera membangun benteng pertahanan. Salah satu benteng peninggalan Portugis yang masih tersisa hingga kini adalah Benteng Alfamosa. Seabad kemudian, Portugis hengkang dari Malaka karena serangan pasukan VOC dari Belanda. Orang Belanda pun tak lama berkuasa atas Malaka karena kemudian Inggris mengambil alih kekuasaan atas Malaka.
3.      Kerajaan Aceh
Kerajaan aceh didirikan Sultan Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528)  setelah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie. Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang). Corak pemerintahan di Aceh terdiri atas dua sistem: pemerintahan sipil di bawah kaum bangsawan, disebut golongan teuku; dan pemerintahan atas dasar agama di bawah kaum ulama, disebut golongan tengku atau teungku.
Sebagai sebuah kerajaan, Aceh mengalami masa maju dan mundur. Aceh mengalami kemajuan pesat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Pada masa pemerintahannya, Aceh mencapai zaman keemasan. Aceh bahkan dapat menguasai Johor, Pahang, Kedah, Perak di Semenanjung Melayu dan Indragiri, Pulau Bintan, dan Nias. Di samping itu, Iskandar Muda juga menyusun undang-undang tata pemerintahan yang disebut Adat Mahkota Alam.
Setelah Sultan Iskandar Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh.
Aceh mengalami kemunduran di bawah pimpinan Sultan Iskandar Thani (1636- 1641). Dia kemudian digantikan oleh permaisurinya, Putri Sri Alam Permaisuri (1641- 1675). Sejarah mencatat Aceh makin hari makin lemah akibat pertikaian antara golongan teuku dan teungku, serta antara golongan aliran syiah dan sunnah sal jama’ah. Akhirnya, tahun 1873, Belanda berhasil menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.
Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.
4.      Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Minangkabau disebut juga sebagai Kerajaan Pagaruyung yang merupakan salah satu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya.
Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Dan sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam. Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut. Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran.

            Sejak abad ke-7 M, kawasan Asia tenggara mulai berkenalan dengan tradisi Islam. Ini terjadi karena para pedagang muslim, yang berlayar di kawasan ini, singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di semenanjung Melayu dan nusantara. Di Indonesia, kehadiran Islam secara lebih nyata terjadi sekitar akhir abad 13 M, yakni dengan adanya makam Sultan Malik al-Saleh, terletak di kecamatan Samudra di Aceh utara. Pada makam tersebut tertulis bahwa dia wafat pada Ramadhan 696 H/1297 M. Dalam hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, dua teks Melayu tertua Malik Al-Saleh digambarkan sebagai penguasa pertama Kerajaan Samudra Pasai (Hill, 1960; Ibrahim Alfian, 1973, dalam artikelAmbary).
            Untuk menjastifikasi teorinya, Moquette membandingkan dengan data historis yang lain, yaitu catatan Marco Polo yang mengunjungi Perlak dan tempat lain di wilayah ini pada 1292 M. Pada proses islamisasi terjadi, persentuhan pedagang muslim dengan penduduk setempat telah terjadi di sana untuk sekian lama hingga sebuah kerajaan Muslim berdiri pada abad ke-13 M, Samudra pasai. Pendiri kerajaan tersebut bias dihubungkan dengan kelemahan kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-12 dan ke-13 M sebagaimana dituturkan oleh Chou-Chu-Fei dalam catatan Ling Wa-Tai-ta (1178 M) (Tjandrasasmmita, 13-14). 
            Berdirinya kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 M merupakan bukti masuknya Islam di Sumatera, selain kerajaan Samudra Pasai juga ada kerajaan  Perlak, dan kerajaan Aceh. pada tahun 1978, peneliti Pusat Riset Arkeologi Nasional Indonesia telah menemukan sejumlah batu Nisan di situs Tuanku Batu Badan di Barus. Yang terpenting dari temuan itu adalah makam yang mencantumkan sebuah nama, yaitu Tuhar Amsuri, yang meninggal pada 19 Safar 602 H, sebagaimana ditafsirkan oleh Ahmad Cholid Sodrie dari pusat Riset Arjeologi Nasional, tapi ada penafsiran lain yang mengemukakan bahwa Tuhar Amsuri meninggal pada 19 Safar 972. Tapi dari temuan Arkeologis di barus dikatakan bahwa batu nisan Tuhar Amsuri tertanggal 602 lebih awal dari batu nisan Sultan As-Salih yang tertanggal 696 H. Ini berarti jauh sebelum kerajaan Samudra Pasai, sudah ada masyarakat Muslim yang tinggal di Barus, salah satu tempat di sekitar pantai barat Sumatera (Tjandrasasmmita,15-16).


Pada masa kedatangan Islam di Indonesia terdapat aneka ragan suku bangsa, organisasi suku pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial-budaya. Suku bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, dilihat dari sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuranjenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur ekonomi, sosial, dan budaya agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukan cirri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang yang disebabkan percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar (Poesponegoro & Notosusanto, 2010:14).

Kita mengetahui bahwa dalam masa kedatangan da penyebaran Islam, di Indonesia terdapat Negara-negara yang bercorak Hindu, seperti di Sumatera yang terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tersebut tidak menunjukkan pengaruh India atau Indonesia Hindu, hal ini terlihat dari struktur birokrasi pemerintahan yang merupakan federasi limpo-limpo dibawah pimpinan Arungmatoa yang biasanya dipilih dari arung-arung, dan system pemerintahan yang mengenal unsure-unsur demokrasi (Poesponegoro & Notosusanto, 2010:14).

Dari berita Tome Pire diketahui pula bahwa di daerah Sumatera di samping banyak kerajaan yang sudah bercorak Islam juga banyak yang belum memeluk Islam, dank arena itu sering kali disebut cafre. Struktur pemerintahan seperti telah diberitakan oleh Tome Pire situ diperkuat lagi oleh Antonio Galvao yang menyebut bahwa di Maluku, setiap tempat merdeka dengan daerah dan batas-batasnya sendiri.  Penduduknya hidup bersama  dalam masyarakat-masyarakat yang memenuhi keperluannya sendiri. Masyarakat-masyarakat tersebut diperintah oleh orang tua yang dianggap lebih baik dari pad yang lain (Poesponegoro & Notosusanto, 2010:15).



Pada abad ke-12 situasi dan kondisi politik bahkan ekonomi kerajaan-kerajaan Indonesia-Hindu pada masa kedatangaan orang-orang muslim ke daerah Sumatera dan Jawa, Sriwijaya dan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan karena politik kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Jawa sendiri dan mungkin juga oleh pengaruh politik perluasan kekuasaan Cina ke kerajaan-kerajaan di daratan Asia Tenggara (Poesponegoro & Notosusanto, 2010:19).

Kemunduran Sriwijaya ini disebabkan karena faktor politik ekskapansi dari kerajaan Singhasari dan Majapahit, dasamping kemungkinan perluasan pengaruh Cina dan kerajaan-kerajaan di daratan Asia Tenggara. Untuk Majapahit faktor politik dalam negri sendiri, yaitu pemberontakan-pemberontakan dan sengketa diantar anggota keluarga raja dalam perebutan kekuasaan. Adanya pmberontakan, perang perebutan kekuasaan di kalangan keluarga raja-raja itu mengakibatkan pula kelemahan bagi perekonomian rakyat, bahkan juga perekonomian segolongan bangsawan sendiri tidak  terlibat dalam perebutan kekuasaan itu, karena perang-perang itu jelas menghabiskan waktu, tenaga, dan bahkan keperluan-keperluan hidup. Bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa melepaskan diri bukan karena factor politik saja, melainkan juga factor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang muslim (Poesponegoro & Notosusanto, 2010:19).

Sementar itu, dalam suasana politik yang kacau, banyak pedagang muslim yang mengunjungi Nusantara, diantaranya mungkin juga terdapat mubaligh-mubaligh. Mereka juga berdiam dalam perkampungan-perkampungan. Sudah tentu diantara mereka terdapat pula orang kaya, dan orang muslim tersebut menerima dan memakai bahasa penduduk setempat yang mereka Islamkan. Mereka mencari budak-budak untuk mereka Islamkan, dengan cara ini mereka mencari tiap keluarga muslaim menjadi inti masyarakat muslim dan pusat kegiatan peng-Islaman. Dengan cara perkawinan pula Islam memasuki lapisan masyarakat bangsawan (Poesponegoro & Notosusanto, 2010:19).


Berbagai Berbagai teori tentang masuknyaIslam di Indonesia ini terus muncul sampai saat ini, Fokus ini mengenai tempat asal kedatangan Islam di Sumatra  ini, siapa pembawanya, dan waktu kedatangannya.  Ada beberapa pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia ini.
a.       Teori Mekkah
b.      Teori Gujarat
c.       Teori Cina
d.      Teori Persia

teori tentang masuknyaIslam di Indonesia ini terus muncul sampai saat ini, Fokus ini mengenai tempat asal kedatangan Islam di Sumatra ini, siapa pembawanya, dan waktu kedatangannya.  Ada beberapa pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia ini. Ada teori Makkah, teori Gujarat, teori Cina, dan teori Persia.

Pada abad ke-12 situasi dan kondisi politik bahkan ekonomi kerajaan-kerajaan Indonesia-Hindu pada masa kedatangaan orang-orang muslim ke daerah Sumatera dan Jawa, Sriwijaya dan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Dan pada waktu Srwijaya memgalami kemunduran inilah terjadi perluasan Islam di Sumatera. Kehadiran Islam secara lebih nyata terjadi sekitar akhir abad 13 M, yakni dengan adanya makam Sultan Malik al-Saleh, terletak di kecamatan Samudra di Aceh utara. Pada makam tersebut tertulis bahwa dia wafat pada Ramadhan 696 H/1297 M. Ia digambarkan sebagai penguasa pertama Kerajaan Samudra Pasai.
Apabila tulisan Suryadinegara adalah tulisan yang mendekati keotentkian sebuah penelitian, itu artinya proses penyearan ajaran islam tidak hanya berakar dari para pendatang atau para pedagang. Dapat disimpulkan bahwa pelaku dan cara masuknya islam disumatra-selatan tidak ubahnya seperti terjadi pada wilayah Indonesia lainnya, dilakukan oleh putra Indonesia dan tidak berjalan pasif. Dengan pengertian bangsa Indonesia tidak menunggu kedatangan bangsa Arab semata dengan upayanya mencari tambahan pengetahuan tentang agama islam.
Khusus untuk Sumatra-selatan, masuknya agama islam selain dilakukan oleh bangsa arab, pedagang utusan kholifah Umayah (661-750) dan kholifah Abbasiyah (750-1268), juga perdagangan dari  Sriwijaya berlayar ketimur tengah. Hal yang demikian ini tidak bertentangan, sekalipun Sriwijaya sebagai pusat pengembangan ajaran budha, tetapi, karena watak Indonesia yang mempunyai kesanggupan yang tinggi dalam menghormati perbedaan agama, maka, di wilayah kerajaan Sriwijaya di izinkan masuknya agama islam melalui jalur perdagangan. Factor yang terakhir inilah yang memungkinkan Sriwijaya menempuh Sistem pintu terbuka dalam menghadapi kenyataan masuknya agama islam.