RESUME
Ditunjukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Masuk Dan Berkembangnya
Islam Di Sumatra
Sejarah Peradaban Islam
Oleh:
Alham Irpani NIM. 13510003
Dosen Pengampu :
Dewi Permata Sari M.Hum
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
IAIN RADEN FATAH PALEMBANG
2013
Masuk Dan Berkembangnya
Islam Di Sumatra
Islam tersebar di Indonesia melalui pedagang yang berdagang ke
Indonesia, di mana masyarakat Indonesia sebelum Islam mayoritas memeluk agama
Hindu dan Budha. Pada abad ke-12,
sebagian besar pedagang orang Islam dari India
tiba di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Kerajaan Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana
banyak pengikutnya berpindah agama ke Islam., dan dalam jumlah yang lebih
kecil, banyak penganut agama Hindu yang berpindah ke Bali.
pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara
massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara
secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah
memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya
beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka,
Demak, Cirebon, serta Ternate. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M
antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh
kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan
Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan “kedatangan Islam
bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam
datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan
merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang
benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin”
Dengan masuk Islamnya
penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di
berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat
dunia Islam menjadi semakin erat. Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh
kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat dan
Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama,
social dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut
agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan
tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya
yaiut banyaknya nama-nama islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai
keIslaman.
A. Kerajaan
Kerajaan Islam di Sumatra
1.
Samudera Pasai
Pada pertengahan abad ke-13, di Sumatera telah berdiri kerajaan
Islam Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia, Samudera
Pasai juga dikenal dengan Kesultanan
Pasai atau Samudera Darussalam. Kerajaan ini terletak di pesisir timur
laut aceh yang sekarang merupakan wilayah Kabupaten Lhouksumawe.
Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan maritim, kerajaan ini
didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja pertama pada
abad ke-13, samudera pasai telah mengadakan hubungan dengan Sultan Delhi di
India pada pelayaran kerajaan Samudra Pasai merupakan pusat studi agama Islam
dan tempat berkumpulnya para ulama dari berbagai negara Islam.
Raja-raja yang pernah memerintah Samudra Pasai adalah seperti
berikut:
1. Sultan Malik Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar
kekuasaan Islam dan berusaha mengembangkan kerajaannya antara lain melalui
perdagangan dan memperkuat angkatan perang. Samudra Pasai berkembang menjadi
negara maritim yang kuat di Selat Malaka.
2. Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah sejak 1297-1326. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai.
3. Sultan Malik al Tahir II (1326 – 1348 M). Raja yang bernama asli Ahmad ini sangat teguh memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan Islam ke negeri-negeri sekitarnya. Akibatnya, Samudra Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran Islam. Pada masa pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki armada laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman singgah dan berdagang di sekitar Samudra Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai kerajaan maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian
2. Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah sejak 1297-1326. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai.
3. Sultan Malik al Tahir II (1326 – 1348 M). Raja yang bernama asli Ahmad ini sangat teguh memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan Islam ke negeri-negeri sekitarnya. Akibatnya, Samudra Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran Islam. Pada masa pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki armada laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman singgah dan berdagang di sekitar Samudra Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai kerajaan maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian
Samudera Pasai merupakan kerajaan dagang yang makmur. Banyak
pedagang dari Jawa, Cina, dan India yang datang ke sana. Hal ini mengingat
letak Samudera Pasai yang strategis di Selat Malaka. Mata uangnya uang emas
yang disebur deureuham (dirham). Di bidang
agama, Samudera Pasai menjadi pusat studi Islam. Kerajaan ini menyiarkan Islam
sampai ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, bahkan ke Thailand. Dari Kerajaan
Samudra Pasai inilah kader-kader Islam dipersiapkan untuk mengembangkan Islam
ke berbagai daerah. Salah satunya ialah Fatahillah.
2.
Kerajaan Malaka
Sesungguhnya, Kerajaan Malaka ini tidak termasuk wilayah Indonesia,
melainkan Malaysia. Namun, karena kerajaaan ini memegang peranan penting dalam
kehidupan politik dan kebudayaan Islam di sekitar perairan Nusantara, maka
Kerajaan Malaka ini perlu dibahas.
Kerajaan Malaka (orang
Malaysia menyebutnya Melaka). Didirikan oleh Pangeran Parameswara, berasal
dari Sriwijaya (Palembang). Kerajaan ini terletak di jalur pelayaran dan
perdagangan antara Asia Barat dengan Asia Timur. Sebelum menjadi kerajaan yang
merdeka, Malaka termasuk wilayah Majapahit. Pendiri Malaka adalah
Ketika di Sriwijaya
terjadi perebutan kekuasaan pada abad ke-14 M, Parameswara melarikan diri ke
Pulau Singapura. Dari Singapura, ia menyingkir lagi ke Malaka karena mendapat
serangan dari Majapahit. Di Malaka ia membangun pemukiman baru yang dibantu
oleh orang-orang Palembang. Bahkan Parameswara bekerja sama dengan kaum bajak
laut (perompak). Ia memaksa kapal-kapal dagang yang melewati Selat Malaka untuk
singgah di pelabuhan Malaka guna mendapatkan surat jalan.
Untuk melindungi
kekuasaannya dari raja-raja Siam di Thailand dan Majapahit dari Jawa, ia
menjalin hubungan dengan Kaisar Ming dari Cina. Kaisar Ming inilah yang
mengirimkan balatentara di bawah pimpinan Laksamana Cheng-Ho pada tahun
1409 dan 1414. Dengan demikian, Parameswara berhasil mengembangkan Malaka
dengan cepat. Kemudian, Malaka pun mengambil alih peranan Sriwijaya dalam hal
perdagangan di sekitar Selat Malaka. Selat Malaka pada waktu itu merupakan
Jalur Sutera (Silk Road) perdagangan yang dilalui oleh para pedagang
dari Arab, Persia, India, Cina, Filipina, dan Indonesia.
Parameswara
mulai resmi memerintah Malaka pada tahun 1400. Menurut catatan Tome Pires,
Parameswara memeluk Islam setelah menikah denan puteri raja Samudera Pasai pada
usia 72 tahun. Setelah itu, Parameswara bergelar Muhammad Iskandar Syah.
Sebagian sejarawan bahkan beranggapan bahwa ia merupakan raja Malaka yang
pertama muslim.
Parameswara
Dewa Syah hanya memerintah satu tahun, hingga 1445. Yang kemudian menjadi raja adalah
Sultan Muzaffar Syah atau Kasim. Pada masanya Malaka mencapai
masa keemasannya. Sultan ini memerintah hingga tahun 1459. Ia digantikan oleh Sultan
Mansur Syah, dikenal juga sebagai Abdullah. Mansur Syah memerintah
Malaka sampai tahun 1477. Jabatan sultan diserahkan kepada Sultan Alauddin
Riayat Syah yang memerintah hingga 1488.
Masa kejayaan
Malaka langsung sirna sejak pasukan Portugis menyerang Malaka pada tahun 1511.
Portugis yang dipimpin langsung oleh Alfonso de Albuquerque, dengan
mudah mengalahkan pertahanan Malaka. Portugis segera membangun benteng
pertahanan. Salah satu benteng peninggalan Portugis yang masih tersisa hingga
kini adalah Benteng Alfamosa. Seabad kemudian, Portugis hengkang dari Malaka
karena serangan pasukan VOC dari Belanda. Orang Belanda pun tak lama berkuasa
atas Malaka karena kemudian Inggris mengambil alih kekuasaan atas Malaka.
3.
Kerajaan
Aceh
Kerajaan aceh didirikan
Sultan Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528) setelah melepaskan diri dari kekuasaan
Kerajaan Pidie. Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah
sekarang). Corak pemerintahan di Aceh terdiri atas dua sistem: pemerintahan
sipil di bawah kaum bangsawan, disebut golongan teuku; dan pemerintahan atas
dasar agama di bawah kaum ulama, disebut golongan tengku atau teungku.
Sebagai sebuah
kerajaan, Aceh mengalami masa maju dan mundur. Aceh mengalami kemajuan pesat
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Pada masa
pemerintahannya, Aceh mencapai zaman keemasan. Aceh bahkan dapat menguasai
Johor, Pahang, Kedah, Perak di Semenanjung Melayu dan Indragiri, Pulau Bintan,
dan Nias. Di samping itu, Iskandar Muda juga menyusun undang-undang tata
pemerintahan yang disebut Adat Mahkota Alam.
Setelah Sultan Iskandar Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh.
Setelah Sultan Iskandar Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh.
Aceh mengalami
kemunduran di bawah pimpinan Sultan Iskandar Thani (1636- 1641). Dia kemudian
digantikan oleh permaisurinya, Putri Sri Alam Permaisuri (1641- 1675). Sejarah
mencatat Aceh makin hari makin lemah akibat pertikaian antara golongan teuku
dan teungku, serta antara golongan aliran syiah dan sunnah sal jama’ah.
Akhirnya, tahun 1873, Belanda berhasil menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda
adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh
terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh
dari Aceh, pria-wanita, di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima
Polim.
Perang Aceh ini
baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang
orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah,
yang telah berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat
bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim
di Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.
4.
Kerajaan
Minangkabau
Kerajaan
Minangkabau disebut juga sebagai Kerajaan Pagaruyung yang merupakan
salah satu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat
sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya.
Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun
1347. Dan sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam.
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui
dengan pasti. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman,
menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut.
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu
melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan
Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil
(Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang
dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17,
Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang
pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan
dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat
diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal:
"Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat
Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan
pada Al-Quran.
Sejak abad ke-7 M, kawasan Asia tenggara mulai berkenalan dengan tradisi
Islam. Ini terjadi karena para pedagang muslim, yang berlayar di kawasan ini,
singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di
semenanjung Melayu dan nusantara. Di Indonesia, kehadiran Islam secara lebih
nyata terjadi sekitar akhir abad 13 M, yakni dengan adanya makam Sultan Malik
al-Saleh, terletak di kecamatan Samudra di Aceh utara. Pada makam tersebut
tertulis bahwa dia wafat pada Ramadhan 696 H/1297 M. Dalam hikayat Raja-raja Pasai dan
Sejarah Melayu Malik, dua teks Melayu tertua Malik Al-Saleh digambarkan
sebagai penguasa pertama Kerajaan Samudra Pasai (Hill, 1960; Ibrahim Alfian,
1973, dalam artikelAmbary).
Untuk menjastifikasi teorinya, Moquette membandingkan
dengan data historis yang lain, yaitu catatan Marco Polo yang mengunjungi
Perlak dan tempat lain di wilayah ini pada 1292 M. Pada proses islamisasi
terjadi, persentuhan pedagang muslim dengan penduduk setempat telah terjadi di
sana untuk sekian lama hingga sebuah kerajaan Muslim berdiri pada abad ke-13 M,
Samudra pasai. Pendiri kerajaan tersebut bias dihubungkan dengan kelemahan
kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-12 dan ke-13 M sebagaimana dituturkan oleh
Chou-Chu-Fei dalam catatan Ling Wa-Tai-ta
(1178 M) (Tjandrasasmmita, 13-14).
Berdirinya kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 M
merupakan bukti masuknya Islam di Sumatera, selain kerajaan Samudra Pasai juga
ada kerajaan Perlak, dan kerajaan Aceh.
pada tahun 1978, peneliti Pusat Riset Arkeologi Nasional Indonesia telah
menemukan sejumlah batu Nisan di situs Tuanku Batu Badan di Barus. Yang
terpenting dari temuan itu adalah makam yang mencantumkan sebuah nama, yaitu
Tuhar Amsuri, yang meninggal pada 19 Safar 602 H, sebagaimana ditafsirkan oleh
Ahmad Cholid Sodrie dari pusat Riset Arjeologi Nasional, tapi ada penafsiran
lain yang mengemukakan bahwa Tuhar Amsuri meninggal pada 19 Safar 972. Tapi
dari temuan Arkeologis di barus dikatakan bahwa batu nisan Tuhar Amsuri
tertanggal 602 lebih awal dari batu nisan Sultan As-Salih yang tertanggal 696
H. Ini berarti jauh sebelum kerajaan Samudra Pasai, sudah ada masyarakat Muslim
yang tinggal di Barus, salah satu tempat di sekitar pantai barat Sumatera (Tjandrasasmmita,15-16).
Pada masa kedatangan
Islam di Indonesia terdapat aneka ragan suku bangsa, organisasi suku
pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial-budaya. Suku bangsa Indonesia yang
bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, dilihat dari sudut antropologi
budaya, belum banyak mengalami percampuranjenis-jenis bangsa dan budaya dari
luar, seperti India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur ekonomi, sosial, dan
budaya agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah
pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir lebih-lebih di kota pelabuhan,
menunjukan cirri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang yang
disebabkan percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar (Poesponegoro &
Notosusanto, 2010:14).
Kita mengetahui bahwa
dalam masa kedatangan da penyebaran Islam, di Indonesia terdapat Negara-negara
yang bercorak Hindu, seperti di Sumatera yang terdapat kerajaan Sriwijaya dan
Melayu. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tersebut tidak menunjukkan pengaruh India
atau Indonesia Hindu, hal ini terlihat dari struktur birokrasi pemerintahan
yang merupakan federasi limpo-limpo dibawah
pimpinan Arungmatoa yang biasanya dipilih dari arung-arung, dan system
pemerintahan yang mengenal unsure-unsur demokrasi (Poesponegoro & Notosusanto,
2010:14).
Dari berita Tome Pire
diketahui pula bahwa di daerah Sumatera di samping banyak kerajaan yang sudah
bercorak Islam juga banyak yang belum memeluk Islam, dank arena itu sering kali
disebut cafre. Struktur pemerintahan
seperti telah diberitakan oleh Tome Pire situ diperkuat lagi oleh Antonio
Galvao yang menyebut bahwa di Maluku, setiap tempat merdeka dengan daerah dan
batas-batasnya sendiri. Penduduknya
hidup bersama dalam
masyarakat-masyarakat yang memenuhi keperluannya sendiri. Masyarakat-masyarakat
tersebut diperintah oleh orang tua yang dianggap lebih baik dari pad yang lain
(Poesponegoro & Notosusanto, 2010:15).
Pada abad ke-12 situasi
dan kondisi politik bahkan ekonomi kerajaan-kerajaan Indonesia-Hindu pada masa
kedatangaan orang-orang muslim ke daerah Sumatera dan Jawa, Sriwijaya dan
Majapahit mulai mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan karena politik
kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Jawa sendiri dan mungkin juga oleh pengaruh
politik perluasan kekuasaan Cina ke kerajaan-kerajaan di daratan Asia Tenggara
(Poesponegoro & Notosusanto, 2010:19).
Kemunduran Sriwijaya
ini disebabkan karena faktor politik ekskapansi dari kerajaan Singhasari dan
Majapahit, dasamping kemungkinan perluasan pengaruh Cina dan kerajaan-kerajaan
di daratan Asia Tenggara. Untuk Majapahit faktor politik dalam negri sendiri,
yaitu pemberontakan-pemberontakan dan sengketa diantar anggota keluarga raja
dalam perebutan kekuasaan. Adanya pmberontakan, perang perebutan kekuasaan di
kalangan keluarga raja-raja itu mengakibatkan pula kelemahan bagi perekonomian
rakyat, bahkan juga perekonomian segolongan bangsawan sendiri tidak terlibat dalam perebutan kekuasaan itu,
karena perang-perang itu jelas menghabiskan waktu, tenaga, dan bahkan
keperluan-keperluan hidup. Bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir
utara Jawa melepaskan diri bukan karena factor politik saja, melainkan juga
factor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang muslim (Poesponegoro &
Notosusanto, 2010:19).
Sementar itu, dalam
suasana politik yang kacau, banyak pedagang muslim yang mengunjungi Nusantara,
diantaranya mungkin juga terdapat mubaligh-mubaligh. Mereka juga berdiam dalam
perkampungan-perkampungan. Sudah tentu diantara mereka terdapat pula orang
kaya, dan orang muslim tersebut menerima dan memakai bahasa penduduk setempat
yang mereka Islamkan. Mereka mencari budak-budak untuk mereka Islamkan, dengan
cara ini mereka mencari tiap keluarga muslaim menjadi inti masyarakat muslim
dan pusat kegiatan peng-Islaman. Dengan cara perkawinan pula Islam memasuki
lapisan masyarakat bangsawan (Poesponegoro & Notosusanto, 2010:19).
Berbagai Berbagai teori tentang masuknyaIslam di
Indonesia ini terus muncul sampai saat ini, Fokus ini mengenai tempat asal
kedatangan Islam di Sumatra ini, siapa
pembawanya, dan waktu kedatangannya. Ada
beberapa pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia ini.
a. Teori Mekkah
b. Teori Gujarat
c. Teori Cina
d. Teori Persia
teori tentang masuknyaIslam di Indonesia ini terus
muncul sampai saat ini, Fokus ini mengenai tempat asal kedatangan Islam di Sumatra
ini, siapa pembawanya, dan waktu kedatangannya.
Ada beberapa pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia ini. Ada teori
Makkah, teori Gujarat, teori Cina, dan teori Persia.
Pada abad ke-12 situasi dan kondisi politik bahkan
ekonomi kerajaan-kerajaan Indonesia-Hindu pada masa kedatangaan orang-orang
muslim ke daerah Sumatera dan Jawa, Sriwijaya dan Majapahit mulai mengalami
kemunduran. Dan pada waktu Srwijaya memgalami kemunduran inilah terjadi
perluasan Islam di Sumatera. Kehadiran Islam secara lebih nyata terjadi sekitar
akhir abad 13 M, yakni dengan adanya makam Sultan Malik al-Saleh, terletak di
kecamatan Samudra di Aceh utara. Pada makam tersebut tertulis bahwa dia wafat
pada Ramadhan 696 H/1297 M. Ia digambarkan sebagai penguasa pertama Kerajaan
Samudra Pasai.
Apabila tulisan
Suryadinegara adalah tulisan yang mendekati keotentkian sebuah penelitian, itu
artinya proses penyearan ajaran islam tidak hanya berakar dari para pendatang
atau para pedagang. Dapat disimpulkan bahwa pelaku dan cara masuknya islam
disumatra-selatan tidak ubahnya seperti terjadi pada wilayah Indonesia lainnya,
dilakukan oleh putra Indonesia dan tidak berjalan pasif. Dengan pengertian
bangsa Indonesia tidak menunggu kedatangan bangsa Arab semata dengan upayanya
mencari tambahan pengetahuan tentang agama islam.
Khusus untuk
Sumatra-selatan, masuknya agama islam selain dilakukan oleh bangsa arab,
pedagang utusan kholifah Umayah (661-750) dan kholifah Abbasiyah (750-1268),
juga perdagangan dari Sriwijaya berlayar
ketimur tengah. Hal yang demikian ini tidak bertentangan, sekalipun Sriwijaya
sebagai pusat pengembangan ajaran budha, tetapi, karena watak Indonesia yang
mempunyai kesanggupan yang tinggi dalam menghormati perbedaan agama, maka, di
wilayah kerajaan Sriwijaya di izinkan masuknya agama islam melalui jalur
perdagangan. Factor yang terakhir inilah yang memungkinkan Sriwijaya menempuh
Sistem pintu terbuka dalam menghadapi kenyataan masuknya agama islam.